Oleh:
Al-Ustadz Al-Hafidz Abdul Aziz Abdur Rauf, Lc.
“Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur’an minimal satu juz
setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai
mengkhatamkan al-Qur’an melewati satu bulan.”
(Hasan al-Banna dalam Majmuatur Rasail –risalah pergerakan- )
Saudaraku, sadarkah kita bahwa al-Qur’an diturunkan oleh Allah kepada
manusia agar menjadi sumber tazwid (pembekalan) bagi peningkatan ruhiy
(spiritualitas), fikri (pemikiran) serta minhaji (metodologi da’wah) ?
Sehingga jika sehari saja kita jauh dari al-Qur’an, berarti terputuslah
dalam diri kita proses tazwid tersebut? Sadarkah kita bahwa yang akan
terjadi adalah proses tazwid dari selain wahyu Allah; baik itu dari
televisi koran, majalah, maupun yang lainnya yang sesungguhnya akan
menyebabkan ruh yang ringkih dan keyakinan yang melemah terhadap fikroh
dan minhaj ?
Padahal tiga unsur ini sesungguhnya menjadi sumber energi untuk
berdakwah dan berharokah. Sehingga melemahlah semangat beramal saleh dan
hadir dalam halaqoh, padahal halaqoh merupakan pertemuan untuk komitmen
beramal saleh.
Dapat dibayangkan bagaimana jadinya kalau proses tazwid itu telah terputus
sepekan, dua pekan, bahkan berbulan-bulan. Semoga Allah menjaga kita dari
sikap menjadikan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mahjuran (ditinggalkan).
وَقَالَ الرَّسُولُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْآنَ
مَهْجُورً
Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al Qur’an ini suatu yang ditinggalkan “. (Q.S. Al-Furqan ayat 30)
Sesungguhnya ibadah tilawah satu juz ini sudah tertuntut kepada manusia
sejak dia menjadi seorang muslim. Oleh karena itu, cukup banyak orang-orang
yang tanpa tarbiyah atau halaqoh, namun memiliki komitmen tilawah satu
juz setiap hari, sehingga setahun khatam 12 kali (bahkan lebih, karena
saat bulan Ramadhan dapat khatam lebih dari sekali).
Lalu, bagaimana dengan kita, ashhabul (aktifis) harokah wad da’wah ?
Sudahkah keislaman kita membentuk kesadaran iltizam (komitmen) dengan
ibadah ini ? Ketika kita melalaikannya, dapat diyakini bahwa kendalanya
adalah dha’ful himmah (lemah dan kurangnya kemauan), bukan karena tidak
mampu melafalkan ayat-ayat al-Qur’an seperti anggapan kita selama ini.
Yang harus dibentuk dalam hal ini bukanlah hanya sebatas mampu membaca,
namun lebih dari itu, bagaimana membentuk kemampuan ini menjadi sebuah
moralitas ta’abbud (penghambaan) kepada Allah, sehingga hal ini menjadi
sebuah proses tazwid yang berkesinambungan sesuai dengan jauhnya
perjalanan da’wah ini !
Dari sini kita menjadi faham, bahwa ternyata tarbiyah adalah sebuah proses
perjalanan yang beribu-ribu mil jauhnya. Entah berapa langkah yang sudah kita lakukan.
Semoga belum mampunya kita dalam beriltizam dengan ibadah ini adalah
karena masih sedikitnya jarak yang kita tempuh. Jadi yakinlah, selama
kita komitmen dengan proses tarbiyah, dengan seizin Allah kita akan
sampai kepada kemampuan ibadah ini.
Dan sekali-kali janganlah kita menutupi ketidak mampuan kita terhadap
ibadah ini dengan berlindung di bawah waswas syaithan dengan bahasa
sibuk, tidak sempat, acara terlalu padat dan lain sebagainya.
Sadarilah bahwa kesibukan kita pasti akan berlangsung sepanjang hidup kita.
Apakah berarti sepanjang hidup kita, kita tidak melakukan ibadah ini hanya
karena kesibukan yang tak pernah berakhir ?
Kita harus berfikir serius terhadap tilawah satu juz ini, karena ia
merupakan mentalitas ‘ubudiyah (penghambaan), disiplin dan menambah
tsaqofah. Apalagi ketika kita sudah memiliki kesadaran untuk membangun
Islam di muka bumi ini, maka kita harus menjadi batu bata yang kuat
dalam bangunan ini. Al Ustadz Asy Syahid Hasan Al-Banna Rahimahullah
begitu yakinnya dengan sisi ini, sehingga beliau menjadikan kemampuan
membaca al-Qur’an satu juz ini sebagai syarat pertama bagi seseorang
yang berkeinginan membangun masyarakat Islam.
Dalam nasihatnya beliau mengatakan, “Wahai saudaraku yang jujur dengan
janjinya, sesungguhnya imanmu dengan bai’at (perjanjian) ini
mengharuskanmu melaksanakan kewajiban-kewajiban ini agar kamu menjadi
batu bata yang kuat,
(untuk itu) : “Hendaklah Anda memiliki wirid harian membaca al-Qur’an
minimal satu juz setiap hari, dan berusahalah sungguh-sungguh agar jangan sampai mengkhatamkan al-Qur’an melewati satu bulan.”
Sebagaimana kita saat melakukan hijrah dari kehidupan Jahiliyyah kepada
kehidupan Islamiyah harus banyak menelan pil pahit selama proses
tarbiyah, maka jika kita sudah ber’azam (bertekad) untuk meningkat
kepada kehidupan yang ta’abbudi (penuh nilai ibadah), maka kita harus
kembali menelan banyak pil pahit tersebut.
Kita harus sadar bahwa usia dakwah yang semakin dewasa, penyebarannya
yang semakin meluas dan tantangannya yang semakin variatif sangat
membutuhkan manusia-manusia yang Labinatan Qowiyyatan (laksana batu bata
yang kuat). Dan hal tersebut kuncinya terdapat di dalam interaksi
dengan al-Qur’an !
Sebuah proses tarbiyah yang semakin matang, dengan indikasi hati dan jiwa
yang semakin bersih, secara otomatis akan menjadikan kebutuhan terhadap
al-Qur’an mengalami proses peningkatan. Sejarah mencatat bahwa para
sahabat dan salafusshalih ketika mendengar Rasulullah SAW bersabda,
bacalah al-Qur’an dalam satu bulan”,
maka begitu banyak yang menyikapinya sebagai sesuatu yang minimal.”
Bayangkan dengan diri kita yang sering menganggap tilawah satu juz itu
sebagai sesuatu yang maksimal ! Maka tugas yang sangat minimal inipun
sangat sering terkurangi, bahkan tidak teramalkan dengan baik. Bagaimana
mungkin kita dapat mengulang kesuksesan para sahabat dalam membangun
Islam ini, jika kita tidak melakukan apa yang telah mereka lakukan
(walaupun kita sadar bahwa ibadah satu juz ini bukan satu-satunya usaha
di dalam berdakwah) ?
Sebutlah Utsman Ibn Affan, Abdullah Ibn Amr Ibn Ash, Abu Hanifah dan Imam Asy-Syafi’i Radiyallahu Anhum.
Mereka adalah contoh orang-orang yang terbiasa menyelesaikan bacaan al-Qur’annya dalam waktu tiga hari sampai satu pekan.
Karena bagi mereka khatam sebulan terlalu lama untuk bertemu dengan ayat-ayat Allah.
Jadi, jika seseorang rutin setiap bula khatam, berarti hanya sekali dalam sebulan ia bertemu dengan surat Maryam, misalnya.
Dapat kita bayangkan seandainya kita berlama-lama dalam mengkhatamkan
al-Qur’an. Berarti kita akan sangat jarang bertemu dengan setiap surat dari al-Qur’an !
Kalau saja tarbiyyah qur’aniyyah kita telah matang, kita akan dapat
merasakan bahwa sentuhan tarbawi (pendidikan) surat al-Baqarah berbeda
dengan surat Ali Imran. Begitu juga beda antara an-Nisaa, al-Maidah
dengan surat yang lainnya. Sehingga ketika seseorang sedang membaca
an-Nisaa, pasti dia akan merindukan al-Maidah. Inilah suasana tarbiyyah
yang belum kita miliki yang harus dengan serius kita bangun dalam diri
kita. Kita
harus waspada, jangan sampai hidup ini berakhir dengan kondisi kita
melalaikan ibadah tilawah satu juz. Sehingga hidup berakhir dengan kenangan penyesalan.
Padahal sesungguhnya kita mampu kalau saja kita mau menambah sedikit saja mujahadah (kesungguhan) dalam tarbiyyah ini.
Kiat Mujahadah dalam Bertilawah Satu Juz
1. Berusahalah melancarkan tilawah jika Anda termasuk orang yang belum
lancar bertilawah, karena ukuran normal tilawah satu juz adalah 30 – 40
menit. Jika lebih dari itu, Anda harus lebih giat berusaha melancarkan
bacaan. Jika melihat durasi waktu di atas, sangat logis untuk melakukan
tilawah satu juz setiap hari dari waktu dua puluh empat jam yang kita
miliki. Masalahnya, bagaima kita dapat membangun kemauan untuk 40 menit
bersama Allah, sementara kita sudah terbiasa 40 menit atau lebih bersama
televisi, ngobrol dengan teman dan lain sebagainya.
2. Aturlah dalam satu halaqah, kesepakatan bersama menciptakan komitmen ibadah satu juz ini.
Misalnya, bagi anggota halaqah yang selama sepekan kurang dari tujuh
juz, maka saat bubar halaqah ia tidak boleh pulang kecuali telah
menyelesaikan sisa juz yang belum terbaca.
Kiat ini terbukti lebih baik daripada ‘iqob (hukuman) yang terkadang
hilang ruh tarbawi nya dan tidak menghasilkan mujahadah yang berarti.
3. Lakukanlah qadha tilawah setiap kali program ini tidak berjalan !
Misalnya, carilah tempat-tempat yang kondusif untuk konsentrasi bertilawah.
Misalnya di masjid atau tempat yang bagi diri kita asing. Kondisi ini akan
menjadikan kita lebih sejenak untuk hidup dengan diri sendiri membangun
tarbiyyah qur’aniyyah di dalam diri kita.
4. Sering-seringlah mengadukan keinginan untuk dapat bertilawah satu juz sehari ini kepada Allah yang memiliki al-Qur’an ini.
Pengaduan kita kepada Allah yang sering, insya Allah menunjukkan kesungguhan kita dalam
melaksanakan ibadah ini. Disinilah akan datang pertolongan Allah yang akan
memudahkan pelaksanaan ibadah ini.
5. Perbanyaklah amal saleh, karena setiap amal saleh akan melahirkan
energi baru untuk amal saleh berikutnya. Sebagaimana satu maksiat akan
menghasilkan maksiat yang llain jika kita tidak segera bertaubat kepada
Allah.
Jika kita saat ini sering berbicara tentang ri’ayah maknawiyyah
(memperkaya jiwa), maka sesungguhnya pesan Imam Syahid ini adalah cara
me- ri’ayah maknawiyyah yang paling efektif dan dapat kita lakukan kapan
saja dan dimana saja. Ditinjau dari segi apapun, ibadah ini harus
dilakukan.
Bagi yang yakin akan pahala Allah, maka tilawah al-Qur’an merupakan
sumber pahala yang sangat besar. Bagi yang sedang berjihad, dimana dia
membutuhkan tsabat (keteguhan hati), nashrullah (pertolongan Allah),
istiqomah, sabar dan lain sebagainya, al-Qur’an tempat meraih semua ini.
Kita harus serius melihat kemampuan tarbawi dan ta’abbudi ini, agar kita tergugah untuk bangkit dari kelemahan ini.
Kendala yang Harus Diwaspadai
1. Perasaan menganggap sepele apabila sehari tidak membaca al-Qur’an,
sehingga berdampak tidak ada keinginan untuk segera kembali kepada
al-Qur’an.
2. Lemahnya pemahaman mengenai keutamaan membaca al-Qur’an. Sehingga
tidak termotivasi untuk mujahadah dalam istiqomah membaca al-Qur’an.
3. Tidak memiliki waktu wajib bersama al-Qur’an dan terbiasa membaca
al-Qur’an sesempatnya, sehingga ketika merasa tidak sempat ditinggalkannyalah al-Qur’an.
4. Lemahnya keinginan untuk memiliki kemampuan ibadah ini, sehingga tidak
pernah memohon kepada Allah agar dimudahkan tilawah al-Qur’an setiap hari.
Materi do’a hanya berputar-putar pada kebutuhan keduniaan saja.
5. Terbawa oleh lingkungan di sekelilingnya yang tidak memiliki
perhatian terhadap ibadah al-Qur’an ini. Rasulullah bersabda, “Kualitas
dien
seseorang sangat tergantung pada teman akrabnya.”
6. Tidak tertarik dengan majlis-majlis yang menghidupkan al-Qur’an. Padahal
menghidupkan majlis-majlis al-Qur’an adalah cara yang direkomendasikan
Rasulullah agar orang beriman memiliki gairah berinteraksi dengan al-Qur’an.
Akibat dari Tidak Serius Menjalankannya
1. Sedikitnya barokah dakwah atau amal jihadi kita, karena hal ini menjadi
indikasi lemahnya hubungan seorang jundi pada Allah. Sehingga boleh jadi
nampak berbagai macam produktivitas dakwah dan amal jihadi kita, namun
dikhawatirkan keberhasilan itu justru berdampak menjadi hal-hal yang tidak
diinginkan.
2. Kemungkinan yang lain, bahkan lebih besar, adalah tertundanya
pertolongan Allah SWT dalam amal jihadi ini. Kalau jihad salafusshalih saja
tertunda kemenangannya hanya karena meninggalkan sunnah bersiwak (menggosok
gigi), apalagi karena meninggalkan suatu amal yang bobotnya jauh lebih
besar dari itu ? Oleh karena itu, masalah berinteraksi dengan al-Quran
selalu disinggung dengan ayat-ayat jihad, seperti surat al-Anfaal dan
al-Qitaal..
3. Terjauhkannya sebuah asholah (keaslian/orisinalitas) dakwah. Sejak
awal dakwah ini dikumandangkan, semangatnya adalah dakwah bil qur’an.
Bagaimana mungkin kita mengumandangkan dakwah bil qur’an kalau interaksi
kita dengan al-Qur’an sangat lemah ?
Bahkan sampai tak mencapai tingkat interaksi yang paling minim, sekedar
bertilawah satu juz saja ?
4. Terjauhkannya sebuah dakwah yang memiliki jawwul ‘ilmi (nuansa
keilmuan). Hakikat dakwah adalah meningkatkan kualitas keilmuan umat
yang sumber utamanya dari al-Qur’an. Maka minimnya kita dengan
pengetahuan ke al-Qur’an- an akan sangat berdampak pada lemahnya bobot
ilmiyyah diniyyah
(keilmuan agama) kita. Dapat dibayangkan kalau saja setiap kader
beriltizam dengan manhaj tarbiyyah yang sudah ada. Lebih khusus pada
kader senior.
Pasti kita akan melihat potret harokah dakwah ini jauh lebih cantik dan
lebih ilmiyyah.
5. Terjauhkannya sebuah dakwah yang jauh dari asholatul manhaj. Bacalah
semua kitab yang menjelaskan manhaj dakwah ini. Khususnya kitab
Majmu’atur rosail (diterjemahkan oleh Ustadz Anis Matta dalam bahasa
Indonesia dengan judul “Risalah Pergerakan”)
Anda akan dapatkan begitu kental dakwah ini memberi perhatian terhadap interaksi dengan al Qur’an. Tidakkah kita malu
ber-intima’ (menyandarkan diri) pada dakwatul ikhwah, namun kondisi kita
jauh dari manhaj-nya ?
Semoga kita tergugah dengan tulisan ini, agar kita lebih serius lagi
melaksanakan poin pertama daripada wajibatul akh (kewajiban aktifis muslim) ini.