Pertanyaannya seperti ini:
"Menurut ustaz bagaimana jika salah satu "POS" dalam system, pemimpinnya seperti kekanakan gtu? bla.. bla... "
Sebenarnya panjang pertanyaannya namun intinya tentang tidak idealnya seorang pemimpin menurutnya..
Ustaz itu menjawab dengan jawaban "cinta" (menurut saya).
Ini masalahnya tentang ideal, entah dengan pemimpin, murobbi ataupun pasangan antum sekalian.
"Saya punya sebuah cerita" kata ustaz nya. Ada pasangan suami istri baru, jadi pada saat makan malam, suaminya kentut. Istrinya begitu marah, sampai melapor ke murobbinya, sambil marah-marah. "Apa itu suami saya, padahal ikhwan sharusnya dia paham tentang adab2, masa kentut sembarang tempat!...bla...bla..." disatu sisi tentu saja si akhwat (istri) benar, tapi disisi lain, seharusnya masalah itu tak perlu sebesar itu sampai membawanya keluar rumah. Jika saja, istrinya berprasangka baik mungkin tak kan timbul masalah.
"Lalu" kata ustaznya menyambung kembali cerita.. "Seorang suami bermaksud menyindir istrinya, ketika melihat debu yang cukup tebal yang menempel di meja mereka. Lalu suami itu menulis kata-kata "I LOVE YOU", pada debu yang menempel itu" berharap istrinya paham maksudnya.. Namun, ternyata istrinya justru membalas tulisan suaminya "I LOVE YOU TOO". Suaminya tak marah, karna debu menempel itu dan berusaha menegur dengan cara yang baik, istrinya pun demikian tidak berprasangka buruk dengan tulisan tersebut malah membalasnya dengan cinta :')
Lalu ini terkait dengan ketidaksempurnaan orang yang mestinya lebih baik dari kita, pemimpin kita, guru ngaji kita atau siapapun itu. Tidak idealnya kekurangannya, jadikanlah sarana tarbiyah kita. Karna bisa jadi rekan dakwah kita, sewaktu-waktu akan menjadi objek dakwah kita juga, saat dia sedang futur.
Eh tentang ketidak sempurnaan jadi inget tulisannya ustaz salim a fillah "Yang kutahu Allah bersamaku".
Cerita Nabi Allah, Tentang jawaban Musa yang terkesan tak tawadhu’. Ketika seorang di antara Bani Israil bertanya siapakah yang paling ‘alim di muka bumi, Musa menjawab, “Aku”. Tapi oleh sebab jawaban inilah di Surat Al Kahfi membentang 23 ayat, mengisahkan pelajaran yang harus dijalani Musa kemudian. Uniknya di dalam senarai ayat-ayat itu terselip satu lagi kalimat Musa yang tak tawadhu’. “Kau akan mendapatiku, insyaallah, sebagai seorang yang sabar.” Ini ada di ayat yang keenampuluh sembilan.
Di mana letak angkuhnya? Bandingkan struktur bahasa Musa, begitu para musfassir mencatat, dengan kalimat Isma’il putra Nabi Ibrahim. Saat mengungkapkan pendapatnya pada sang ayah jikakah dia akan disembelih, Isma’il berkata, “Engkau akan mendapatiku, insyaallah, termasuk orang-orang yang sabar.”
Tampak bahwa Isma’il memandang dirinya sebagai bagian kecil dari orang-orang yang dikarunia kesabaran. Tapi Musa, menjanjikan kesabaran atas nama pribadinya. Dan sayangnya lagi, dalam kisahnya di Surat Al Kahfi, ia tak sesabar itu. Musa kesulitan untuk bersabar seperti yang ia janjikan. Sekira duapuluh abad kemudian, dalam rekaman Al Bukhari dan Muslim, Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda tentang kisah perjalanan itu, “Andai Musa lebih bersabar, mungkin kita akan mendapat lebih banyak pelajaran.”
Wallaahu A’lam. Mungkin memang seharusnya begitulah karakter Musa, ‘Alaihis Salaam. Kurang tawadhu’ dan tak begitu penyabar. Sebab, yang dihadapinya adalah orang yang paling angkuh dan menindas di muka bumi. Bahkan mungkin sepanjang sejarah. Namanya Fir’aun. Sangat tidak sesuai menghadapi orang seperti Fir’aun dengan kerendahan hati dan kesabaran selautan. Maka Musa adalah Musa. Seorang yang Allah pilih untuk menjadi utusannya bagi Fir’aun yang sombong berlimpah justa. Dan sekaligus, memimpin Bani Israil yang keras kepala.
Maaf saya harus memotong sebagian dari tulisan ustaz salim a fillah karna akan mengambil sebagian saja sesuai dengan "ketidak sempurnaan".
Alhamdulillah, kita belajar banyak dari kisah-kisah itu. Kita belajar bahwa dalam hidup ini, pilihan-pilihan tak selalu mudah. Sementara kita harus tetap memilih. Seperti para nelayan pemilik kapal. Kapal yang bagus akan direbut raja zhalim. Tapi sedikit cacat justru menyelamatkannya. Sesuatu yang ‘sempurna’ terkadang mengundang bahaya. Justru saat tak utuh, suatu milik tetap bisa kita rengkuh. Ada tertulis dalam kaidah fiqh, “Maa laa tudraku kulluhu, fa laa tutraku kulluh.. Apa yang tak bisa didapatkan sepenuhnya, jangan ditinggalkan semuanya.”
Nah, dari kisah-kisah di atas, kesimpulan yang dapat kita ambil. Bahwasannya cacat ataupun tak sempurna bukanlah sebuah masalah yang harus dibesar-besarkan, namun prasangka baiklah yang harus dikedepankan. Saya menyesal karna pernah mempertanyakan tentang kekurangan, Alhamdulillah, saya berkata itu pada orang yang benar sehingga dia mengarahkan saya untuk berhusnudzon. Karna, jika saja saya bertemu dengan orang yang salah, mungkin saya tak kan pernah mengerti arti ketidaksempurnaan.
Intinya, apapun yang ada disekitar kita, mungkin saja rahasia Allah dalam membentuk pribadi kita. Ketidak sempurnaan orang lain bisa jadi menjadikan kita sempurna, pun dengan ketidak sempurnaan kita bisa jadi menjadi penyempurna orang lain. Layaknya kita tak kan pernah tau ada siang jika tak ada malam. Namun ketidak pahaman kita dengan hasil dengan cerita ini lagi-lagi mengingatkan saya pada kisah nabi-nabi kita terdahulu.
Nuh belum tahu bahwa banjir nantinya tumpah
ketika di gunung ia menggalang kapal dan ditertawai
Ibrahim belum tahu bahwa akan tercawis domba
ketika pisau nyaris memapas buah hatinya
Musa belum tahu bahwa lautan kan terbelah
saat ia diperintah memukulkan tongkat
di Badar Muhammad berdoa, bahunya terguncang isak
“Andai pasukan ini kalah, Kau takkan lagi disembah!”
dan kitapun belajar, alangkah agungnya iman
Yang mereka tahu hanya satu, Allah bersama mereka. Itu CUKUP! Maka mari kita juga ikut belajar. Dan akupun demikian. yang kutahu Allah bersamaku, cukup! :')
Sami'na Wa atho'na ^^